Sabtu, 07 Januari 2017

Diskriminasi Kelompok LGBT dan Pemerintah yang "Tutup Mata"

TUGAS ILMU SOSIAL DASAR 9
EVI DWI MELIANA
12116411
1KA08


JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah dinilai belum memiliki perhatian terkait maraknya peristiwa kekerasan dan tindakan diskriminatif terhadap kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) di Indonesia.
Hal tersebut terlihat dari semakin meningkatnya kasus kekerasan terhadap kelompok LGBT yang berhasil dicatat oleh Arus Pelangi, sebuah organisasi masyarakat sipil yang kerap melakukan advokasi dalam isu-isu LGBT.
Salah seorang pegiat hak asasi manusia (HAM) dari Arus Pelangi, Yulita Rustinawati, memaparkan bahwa sejak Januari hingga Maret 2016, terdapat 142 kasus penangkapan, penyerangan, diskriminasi, pengusiran, dan ujaran kebencian yang ditujukan kepada kelompok LGBT.
Sementara itu, pada tahun 2013 tercatat 89,3 persen dari seluruh jumlah LGBT yang ada di Indonesia mengalami kekerasan psikis, fisik, dan budaya.
Yuli mengatakan, berdasarkan hasil penelitian Arus Pelangi, diketahui bahwa pelaku ujaran kebencian mayoritas adalah aparat negara yang kemudian membuat legitimasi kepada organisasi intoleran melakukan kekerasan kepada kelompok LGBT.
Seiring dengan semakin banyaknya kekerasan tersebut, muncullah gerakan masyarakat sipil yang memperjuangkan perlindungan HAM kelompok LGBT.
"Gerakan masyarakat sipil tersebut bermula dari kesadaran adanya diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBT. Kekerasan tersebut masih berlangsung hingga saat ini," ujar Yuli dalam diskusi bertajuk Politik, Keragaman, dan Keadilan Gender di Indonesia di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (21/8/2016).
Yuli menjelaskan, gerakan masyarakat sipil yang memperjuangkan hak kelompok LGBT sebenarnya sudah muncul sekitar tahun 1980-an di kota-kota besar, khususnya Jakarta.
Saat itu beberapa organisasi yang ada lebih banyak bergerak di lingkup kesehatan dan HIV/AIDS. Kemudian memasuki tahun 2000-an, muncul organisasi yang bergerak di bidang advokasi bagi kelompok rentan dan sulit mendapatkan akses keadilan.
Arus Pelangi menjadi salah satu organisasi tersebut. Yuli menuturkan, banyak kasus kekerasan yang menimpa kelompok LGBT sebagai korbannya. Namun karena keterbatasan kemampuan, akhirnya mereka tidak memperoleh keadilan yang seharusnya mereka dapatkan.
"Kami memang ingin membuat satu organisasi yang lingkup kerjanya melakukan advokasi bagi kelompok LGBT yang rentan dan sangat sulit mendapatkan akses keadilan," ungkap dia.

Antara stigma dan norma agama
Menurut Yuli, gerakan dalam memperjuangkan hak kelompok LGBT akan selalu menemui hambatan besar di masyarakat, selama stigma negatif terus ditujukan kepada orang-orang dengan orientasi seksual yang berbeda. Lesbian, gay, biseksual dan transgender kerap dipandang sebagai suatu penyakit yang harus disembuhkan.
Mereka, kata Yuli, seringkali tidak diperlakukan sebagai manusia yang memiliki hak asasi sejak lahir. Belum lagi mereka harus berbenturan dengan nilai dan norma agama yang selalu digunakan kelompok intoleran untuk melegitimasi kekerasan terhadap kelompok LGBT.
Yuli berpendapat, lahirnya resistensi di masyarakat terhadap kelompok LGBT disebabkan oleh kurangnya kesadaran bahwa manusia itu beragam. Menurutnya, keberagaman tidak hanya dilihat dari sisi suku, agama, ras dan golongan, tapi juga beragam dari sisi orientasi seksual serta identitas gender.
"Setiap orang memiliki hak untuk tidak setuju terhadap LGBT, namun akan bermasalah ketika ketidaksetujuan tersebut berlanjut ke tindak kekerasan dan penyebaran kebencian. Masyarakat harus bisa melihat dari sisi lain bahwa kelompok LGBT juga manusia yang memiliki hak asasi," tuturnya.

Mempertanyakam peran pemerintah
Dengan banyaknya tindakan kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok LGBT, muncul pertanyaan, bagaimana posisi Pemerintah saat ini dalam melindungi hak warga negaranya. Yuli menilai saat ini Pemerintah belum memberikan hak atas rasa aman dan hak atas kebebasan untuk berkumpul dan berserikat bagi kelompok LGBT.
Bahkan, menurut Yuli, Pemerintah cenderung melakukan pembiaran atas peristiwa kekerasan yang terjadi. Yuli mencontohkan saat terjadi kasus penutupan secara paksa sebuah pesantren waria di Yogyakarta, pemerintah atau aparat penegak hukum tidak berusaha untuk memberikan perlindungan.
"Padahal secara jelas konstitusi menyatakan setiap orang, tanpa melihat latar belakang dan orientasi seksualnya, mempunyai hak untuk beribadah. Kenapa waria tidak bisa menikmati hak asasinya hanya karena memiliki identitas yang berbeda," kata Yuli.
Fakta tersebut diperkuat dengan adanya laporan yang dirilis oleh Human Rights Watch (HRW) beberapa waktu lalu. Dalam laporan berjudul "Permainan Politik Ini Telah Merusak Hidup Kami: Komunitas LGBT Indonesia Berada di Bawah Ancaman", HRW secara khusus mencermati kondisi LGBT di Indonesia.
Peneliti HRW Kyle Night mengatakan bahwa selama beberapa tahun belakangan kelompok LGBT hidup dalam kondisi yang penuh diskriminasi, kebencian, pelecehan, tindak kekerasan, prasangka bahkan seringkali mengalami ancaman pembunuhan.
Kondisi tersebut semakin parah sejak awal tahun 2016 seiring dengan banyak munculnya pernyataan diskriminatif dari beberapa lembaga, organisasi profesi dan institusi Pemerintah.
Kyle menyebut institusi seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Persatuan Dokter Jiwa, dan organisasi keagamaan memberikan kontribusi dalam memperburuk kondisi kehidupan LGBT karena mengeluarkan pernyataan bernada negatif.
KPI dan KPAI pernah mengeluarkan petunjuk penyensoran terhadap informasi dan tayangan yang terkait dengan LGBT. Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir pun pernah melarang keberadaan organisasi mahasiswa LGBT di beberapa kampus.
Pernyataan tersebut merupakan respons terhadap keberadaan Support Group and Research Centre on Sexuality Studies di Universitas Indonesia.
"Pernyataan dari beberapa pejabat dan institusi negara memberikan kontribusi terhadap banyaknya ancaman terhadap kelompok LGBT. Banyak LGBT yang mengalami diskriminasi akibat pernyataan diskriminatif dari pemerintah," ujar Kyle.

Opini :
Menurut saya, Pemerintah bertanggung jawab dalam mengatasi masalah LGBT ini dengan tindakan nyata.Tahap pertama tentunya adalah identifikasi kaum LGBT. Sebelum penyakit bisa disembuhkan, kita harus mengetahui siapa pengidapnya.
Identifikasi dapat dilakukan melalui beberapa cara. Sebuah riset oleh Savin-Williams dan Rieger menunjukkan bahwa identifikasi kaum LGBT dari masyarakat normal dapat dilakukan melalui pengukuran pembesaran pupil mata saat melihat adegan pria atau wanita yang memicu peningkatan libido.
Selain itu, pengujian tersebut tidak dapat mengidentifikasi kaum transeksual secara efektif karena orientasi seksual mereka dapat bervariasi pula. Maka, pengujian yang lebih simpel adalah melalui pengisian formulir data penduduk. Identitas dalam KTP perlu diperbarui dengan kolom orientasi seksual (heteroseksual/homoseksual) dan transeksualitas (ya/tidak). Setelah data dikumpulkan, pemerintah harus memberikan konseling dengan memasukkan kaum LGBT ke lembaga pemasyarakatan . Lembaga pemasyarakatan LGBT ini sebaiknya dipisahkan dengan Lembaga permasyarakatan biasa demi pengobatan yang lebih efektif.
Di Lembaga pemasyarakatan LGBT idealnya setiap kamar diisi oleh satu pria gay dan satu wanita lesbian agar timbul ketertarikan fisik. Sedangkan kamar kaum transeksual diisi dengan kelengkapan yang mempromosikan kodrat masing-masing, misalnya peralatan olahraga dan otomotif (untuk pria) dan peralatan make-up serta masak (untuk wanita). Setiap hari, para pengidap LGBT akan diperkenalkan dengan kegiatan-kegiatan positif yang bertujuan untuk mengembalikan mereka ke kodrat yang seharusnya. Sebagian besar kegiatan yang diadakan hendaknya bertujuan menimbulkan ketertarikan kepada lawan jenis, seperti berbincang-bincang, karaoke, dan peragaan busana renang.
Untuk kaum Adam (baik gay maupun transeksual), kegiatan yang mengembalikan maskulinitas seperti bengkel, olahraga, dan binaraga juga dapat dilakukan secara mandiri (supaya ketertarikan pada sesama jenis tidak timbul kembali). Sedangkan untuk kaum Hawa, sanggar tari, balet, dan masak dapat dilaksanakan.
Melengkapi kegiatan keseharian, kegiatan religius juga perlu dilakukan kepada mereka dalam bentuk pembacaan doa oleh sukarelawan untuk menyembuhkan mereka. Pola makan penghuni Lembaga pemasyarakatan LGBT perlu turut diperhatikan dengan mencampurkan obat penekan libido
Pemeriksaan berkala diadakan setiap 6 bulan oleh psikiater dan ahli kriminal untuk menilai apakah setiap penghuni Lembaga pemasyarakatan LGBT telah tersembuhkan dari kecenderungan LGBT.
Para pengidap yang dianggap telah tersembuhkan dapat dikembalikan ke masyarakat dengan beberapa catatan yaitu :
  1. Mereka harus ditandai dengan atribut khusus seperti pin atau wristband untuk memudahkan pengawasan.
  2. Sesama mantan pengidap LGBT diharapkan tidak pernah berinteraksi untuk mencegah terulangnya keinginan untuk melakukan hubungan seksual. Pemerintah harus mengupayakan pemerataan penyebaran kaum (mantan) LGBT di seluruh pelosok nusantara.
  3. Masyarakat harus berperan aktif dalam mengawasi dan melaporkan tindakan LGBT yang rentan muncul kembali jika terpicu faktor-faktor tertentu. Pelaku LGBT yang mengulangi tindakannya dapat dikembalikan ke LPL untuk ditindak secara lebih intensif.
Solusi :
Upaya pencegahan dalam mengatasi bahaya dan ancaman LGBT di kalangan masyarakat Indonesia yaitu :
  1. Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT serta kesadaran akan bahaya Penyakit Menular Seksual (PMS) yang diakibatkan karena pergaulan bebas.
  2. Menolak adanya legalisasi yang mendukung perilaku menyimpang seksual yang dapat merusak moral generasi muda Indonesia.
  3. Meminta pemerintah dan mengajak organisasi masyarakat untuk mengantisipasi terjadinya penyebaran paham LGBT.
  4. Membuat penyuluhan dan pengobatan bagi mereka yang sudah terlanjur terjangkit penyakit LGBT agar dapat kembali normal menjadi manusia dengan fitrah yang sesungguhnya
Sumber :



Kamis, 05 Januari 2017

Kurang Belajar Agama Sebabkan Intoleransi di Masyarakat

TUGAS ILMU SOSIAL DASAR 8
EVI DWI MELIANA
12116411
1KA08 
INILAH, Bandung -Pembelajaran dan pemahaman ajaran agama yang tidak utuh sering menjadi pemicu terjadinya intoleransi antar umat beragama di Indonesia. Selain bisa mengikis toleransi, hal ini pun bisa menciptakan pemahaman ekstrimis di masyarakat.

Dikatakan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat A. Buchori, intoleransi yang terjadi di masyarakat terjadi akibat adanya pengetahuan yang tidak sempurna dari ajaran agama. Hal ini disebabkan oleh tidak komprehensifnya dalam mempelajari ilmu agama.

Padahal menurutnya, agama tidak pernah mengajarkan umatnya agar bertindak di luar perdamaian, bahkan agama menciptakan rasa kebersamaan dan kemanusiaan.

"Tidak ada agama yang mengajarkan kebencian, permusuhan, intoleransi. Ketika ada intoleransi, berarti ada benang merah yang terputus," kata dia saat memperingati Hari Amal Bakti ke-71 Kementerian Agama tingkat Provinsi Jabar, di Bandung, Selasa (3/1/2017).

Sehingga pihaknya meminta agar masyarakat mempelajari ilmu agama secara utuh dan menyeluruh. Sebab ketika mempelajari secara utuh tidak akan lagi salah tafsir dalam pengaplikasiannya.

"Ketika agama dipahami sebagian, maka tentunya sebagian-sebagian pula yang bisa dilakukan," katanya.

Oleh karena itu, guna menjadikan keutuhan nilai-nilai agama dan menjaga keutuhan tersebut dibutuhkan peran dari tokoh agama. Sebab tokoh agama merupakan penyampai ilmu keagamaan di tengah masyarakat. Tak hanya itu, keberadaan penyuluh dari Kemenag pun diharapkan mampu menyampaikan nilai-nilai agama secara utuh dan benar kepada masyarakat.

"Penyuluh mudah-mudahan itu jadi garda terdepan. Keberadaannya sangat dibutuhkan," katanya.

Tetapi, tugas untuk menjaga toleransi antar umat beraga menjadi tugas semua pihak. Apalagi peran penyuluh keagamaan masih belum maksimal.

"Tidak hanya tugas penyuluh saja. Ini juga membutuhkan peran dari yang lain," ungkapnya.

Sementara Wakil Gubernur Jabar Deddy Mizwar mengatakan, nilai-nilai agama menjadi faktor penting bagi kehidupan bernegara masyarakat Indonesia. Sebab nilai-nilai agama mampu mempererat persatuan dan kesatuan berbangsa, sehingga nilai agama tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat dalam bernegara.

"Kita juga harus tahu, sebagian peraturan di kita pun diambil dari peraturan agama," ucapnya.

Lebih lanjut dia mengatakan Agama merupakan ruh, sebab nilai agama harus jadi pembentuk karakter bangsa yang majemuk, sehingga ajaran agama pun menjadi penerang untuk kualitas kehidupan masyarakat.

Ia menulai, dalam peringatan Hari Amal Bakti ke-71 ini harus menjadi momentum untuk Kementerian Agama dalam meningkatkan kualitas dan pelayanannya. Sebab kualitas pelayanan Kemenag terhadap masyarakat akan mempengaruhi toleransi dan kerukunan umat beragama di Indonesia.

"Jika ini tercapai, bukan tidak mungkin akan meningkatkan toleransi umat beragama di tengah masyarakat," pungkasnya. [ito]

Opini :
Menurut saya, kita hidup dalam negara yang penuh dengan keragaman agama, suku, dan budaya. Meski kita berbeda agama, suku, dan budaya bukan berarti kita tidak bisa bersatu. Untuk mempersatukan perbedaan diantara kita, perlu adanya usaha yang maksimal yaitu dengan cara bertoleransi terhadap sesama manusia. Jika kita ingin sebuah kehidupan yang rukun, hamonis, aman, dan tentram maka kita harus menerapkan sikap toleransi dengan baik. Terutama menerapkan sikap toleransi dalam kehidupan beragama. Tetapi pada kenyataannya di Indonesia sikap toleransi masih belum stabil, perlu adanya usaha untuk meningkatkan sikap toleransi. Mengapa kita perlu meningatkan sikap toleransi ? Karena di Indonesia masih sering terjadi intoleransi dan diskriminasi antar umat beragama. Yang disebabkan karena masyarakat memandang bahwa unsur agama adalah hal yang frusial. Padahal unsur agama adalah  hal utama yang begitu penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Intoleransi dan diskriminasi juga bisa terjadi karena kurangnya kesadaran dalam bertoleransi dan kurangnya iman pada diri masing-masing setiap umat manusia yang memiliki keyakinan masing-masing. Kita semua tahu bahwa setiap agama, baik Islam, Kristen, dan agama-agama lainnya mengajarkan kebaikan dan hidup bertoleransi antar umat beragama. Namun pada kenyataannya justru konflik sering terjadi yang mengatas namakan harga diri karena untuk mempertahankan agama.
Agama seharusnya bisa menjadi energi positif untuk membangun nilai toleransi berguna untuk mewujudkan Negara yang adil dan sejahtera serta hidup berdampingan dalam perbedaan. Untuk itu kita perlu menyadari meski setiap agama tidak sama, namun pasti setiap agama mengajarkan sikap toleransi, baik dalam kehidupan beragama maupun kehidupan dalam dunia majemuk dan diperlukan kesediaan menerima kenyataan bahwa dalam masyarakat ada cara hidup, berbudaya, dan keyakinan agama yang berbeda.
Keanekaragaman itu indah bila kita menyadari dan mensyukuri setiap perbedaan yang ada dan menjadikan perbedaan itu sebagai warna-warni kehidupan, contohnya pelangi yang terdiri dari warna-warna yang berbeda namun menyatu untuk memancarkan keindahan. Untuk itu menyatukan umat manusia yang berbeda agama, suku, dan budaya diperlukan peningkatan toleransi dan iman yang kuat. Dengan iman yang kuat akan menjauhkan kita dari tindakan yang melanggar norma hukum dan norma agama. Iman juga dapat menyadarkan kita bahwa sikap diskriminasi terhadap umat agama lain dapat menjerumuskan kita pada dosa.

Solusi :
Cara yang dapat meningkatkan sikap toleransi yaitu :
a. Menumbuhkan rasa Kebangsaan dan Nasionalisme
b. Mengakui & menghargai hak asasi manusia
c. Tidak memaksakan kehendak orang lain dalam memilih agamanya
d. Memberikan bantuan pada setiap yang membutuhkan tanpa memandang perbedaan
e. Memperkokoh silaturahmi dan menerima perbedaan

Sumber :
http://m.inilahkoran.com/berita/bandung/65300/kurang-belajar-agama-sebabkan-intoleransi-di-masyarakat


Link Gunadarma :
www.ilab.gunadarma.ac.id

The Mouse Deer and The Crocodile

Tugas Softskill (Bahasa Inggris Bisnis 2) berupa voiceover recording dari sebuah cerita narasi berjudul “ The Mouse Deer and the Crocodil...